Hari TB Sedunia (25 Maret) mengingatkan kita mengenai ancaman TB yang terus meningkat
Vaksin-vaksin yang lebih baik dibutuhkan agar dapat melawan TB di tingkat global. Global Fund melaporkan sekitar 9 juta kasus TB baru muncul setiap tahunnya, menempati posisi kedua sebagai penyakit menular paling mematikan di dunia setelah AIDS. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 320.000 kasus TB dilaporkan di Indonesia pada 2014. Sementara, hanya lebih dari 1.000 kasus TB yang dilaporkan di Australia. Namun, munculnya penyakit TB yang bersifat resistan terhadap obat menimbulkan ancaman bagi seluruh dunia.
Dua protein dari bakteri tuberkulosis menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penyelidikan vaksin baru yang disuntikkan pada tikus. Para ilmuwan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, dengan rekan-rekan dari Centenary Institute dan University of Sydney di Australia, telah menemukan bahwa protein yang disuntikkan dapat jauh meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk memberikan perlindungan terhadap tuberkulosis (TB) pada tikus.
Penyelidikan di Universitas Gadjah Mada akan dikoordinasi oleh ketua penyelidik Dr. Yanri Subronto dan Associate Professor Ning Rintiswati. Penyelidikan ini juga akan melibatkan dr. Heni Muflihah, seorang dokter Indonesia dan penerima Australia Award yang sekarang sedang menempuh studi PhD mengenai pengembangan vaksin TB di University of Sydney, dan Associate Professor Jamie Triccas, yang juga merupakan Chief Investigator di Pusat Keunggulan Penelitian (Center of Research Excellence) untuk Pengendalian Tuberkulosis di National Health and Medical Research Council dengan Warwick.
Mereka akan mengadakan uji coba pada 40 pasien penderita TB di Yogyakarta dan 40 lainnya yang tidak menderita TB. Tim penyelidik, yang menerima pendanaan dari Australia Indonesia Centre, telah mendirikan sebuah laboratorium dan menetapkan teknik imunologi untuk menguji jika protein dari bakteri tuberkulosis dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan vaksin.
“Dapat memperoleh keahlian di Australia dan kawasan Asia-Pasifik untuk mendirikan pusat studi TB di Indonesia dan membantu dengan penelitian dalam imunologi TB dan pengembangan vaksin untuk memerangi penyakit telah terbukti sangat bermanfaat bagi Indonesia,” kata Heni.
Selain membantu memberikan pelatihan dan pengalaman bagi para peneliti Indonesia untuk mempelajari TB, membagikan teknik imunologi dan teknologi bagi Indonesia, proyek ini juga memicu minat peneliti TB asal Indonesia untuk mengikuti konferensi penting kawasan dan simposium di Sydney, Australia.
“Di akhir Agustus dan awal September 2015, kami mengadakan Pertemuan tingkat Asia Pasifik International Union Against TB, diikuti dengan simposium penelitian di Pusat Keunggulan. Lewat hubungan yang kami bentuk dalam proyek ini, kami mampu mendorong dan mendukung rekan-rekan dari Indonesia untuk datang,” kata Prof. Warwick Britton, salah seorang ketua yang juga merupakan Head of Tuberculosis Research Program di Centenary Institute, dan seorang profesor di University of Sydney.
Tim peneliti berharap bahwa protein-protein tersebut dapat mendukung keberadaan vaksin BCG– vaksin berusia 90 tahun dan satu-satunya vaksin yang tersedia untuk mencegah TB. Tingkat efektivitas BCG berkisar antara 0 – 80 persen tergantung kondisi geografisnya, dan cenderung lebih rendah di negara tropis.
Penelitian ini melanjutkan 8 tahun riset kolaborasi dengan Woolcock Institute untuk Respiratory Medicine di Sydney, yang telah melibatkan berbagai studi penelitian utama untuk meningkatkan kendali TB di Vietnam.
Protein-protein ini terlihat sangat menjanjikan; setidaknya seefektif BCG, kata Warwick.
“Bahkan, eksperimen yang belum dipublikasikan menyarankan agar kedua pihak dapat mengupayakan peningkatan dampak BCG.”
Meskipun para peneliti telah menunjukkan bahwa protein-protein ini memicu sistem kekebalan tubuh sejumlah kecil pasien di Sydney, “karena adanya perbedaan yang nyata di antara kelompok-kelompok yang berbeda, kami perlu menguji pengenalan protein tersebut pada masyarakat Indonesia,” kata Warwick.
Kontak media
- Kevin Evans(Australia Indonesia Centre, di Indonesia);kevinevans@monash.edu; +62 811 991 6434
- Andrew Tijs(Australia Indonesia Centre, di Australia);andrewtijs@monash.edu; +61 405 278 298
- Lydia Hales (Science in Public, di Australia); lydia@scienceinpublic.com.au; +61 457 854 515
Keperluan wawancara
- Ning Rintiswati (Indonesia); rintiswati@gmail.com;+ 62 8 562 857 951
- Warwick Britton (Australia); w.britton@centenary.org.au; +61 2 9565 6263
- Jamie Triccas (Australia); jamie.triccas@sydney.edu.au; +612 9036 6582