Para ilmuwan bersedia untuk diwawancarai dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Jumlah ikan yang ditangkap para nelayan Indonesia semakin berkurang. Apapun alasannya, ini merupakan masalah besar bagi penduduk pulau-pulau kecil karena 90% sumber protein yang mereka berasal dari ikan.
Sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan sosial Indonesia dan Australia sedang menyelidiki cara cara masyarakat beradaptasi terhadap perubahan ini. Pada awalnya, lewat proyek percontohan yang didanai oleh Australia Indonesia Centre, para peneliti menguji apakah ada keterkaitan antara produktivitas penangkapan ikan dan prihatin rawan pangan di pulau-pulau kecil Maluku dekat Kei Kecil. Jika demikian, apakah hal ini disebabkan oleh melemahnya kewenangan manajemen perikanan lokal dan munculnya konflik antar komunitas mengenai sumber daya ikan. Selain itu, cara para penduduk mengatasi kerawanan pangan, dan sikap mereka terhadap mata pencaharian alternatif juga diselidiki.
“Ada banyak sekali pulau kecil di dunia,” ucap koordinator proyek, Dr. Budy Resosudarmo dari Crawford School of Public Policy di Australian National University (ANU).
“Indonesia, adalah contoh kasus yang baik untuk masalah ini. Jika kita bisa menemukan solusi untuk menangani masalah ini, mungkin kita dapat memberikan solusi kepada dunia, terutama pulau-pulau di Selat Torres dan Samudra Pasifik.”
Kolaborasi ini mampu memanfaatkan sumber daya dari dua universitas di Indonesia, Universitas Hasanuddin di Sulawesi dan Universitas Pattimura di ibukota wilayah Ambon; Politeknik Perikanan Negeri Tual di Kei Kecil; beserta dua universitas di Australia: Australian National University dan University of Tasmania, yang memiliki ahli ekonomi perikanan.
“Dua institusi lokal tersebut berperan penting karena lewat penelitian yang telah mereka lakukan secara berkelanjutan, telah banyak latar belakang informasi yang diperoleh.” kata Budy. “Mereka dapat memberikan kami literatur mengenai manajemen perikanan lokal, misalnya, dimana desa-desa tersebut memutuskan dan menegakkan restriksi musiman atau khusus.”
Tim peneliti telah memperbarui informasi ini menggunakan apa yang mereka sebut sebagai “pemahaman cepat kondisi pedesaan”, yaitu mengunjungi desa-desa, berdiskusi dengan kepala desa dan masyarakat setempat, mengamati hal yang sedang terjadi, dan mengecek apakah pertanyaan yang akan diajukan di survei selanjutnya bersifat relevan dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi tim.
Sebagian besar tahap awal penelitian akan menyertakan analisis terhadap informasi yang didapat dari survei, termasuk pertanyaan tentang ketahanan pangan, impresi terhadap stok ikan, produktivitas penangkapan ikan, manajemen perikanan, konflik dan perilaku terhadap mata pencaharian alternatif. Bahkan, pertanyaan mengenai masalah dan pasokan listrik yang akan memberikan informasi untuk proyek Australia Indonesia Centre yang berbeda mengenai listrik elektrifikasi terpencil akan dimuat dalam survei. Masyarakat nelayan sangat membutuhkan listrik untuk memproduksi es yang akan digunakan untuk mengawetkan hasil tangkapan mereka.
Awalnya, survei dirancang untuk diadakan di bulan November. Namun, survei tersebut harus ditunda sampai Februari 2016 karena badai El Niño yang datang lebih awal membawa gelombang tinggi ke area tersebut dan meningkatkan bahaya perjalanan laut dan tingkat pemeliharaan kapal untuk penduduk setempat.
Budy percaya bahwa mata pencaharian alternatif, seperti beralih ke sumber daya laut atau ikan lainnya atau mendapatkan pekerjaan tambahan, kemungkinan merupakan solusi jangka pendek yang tidak menarik bagi bagi nelayan setempat. Solusi yang yang lebih bersifat jangka panjang, menurut pandangannya, adalah kesediaan keluarga nelayan untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan bagi anak mereka sehingga anak-anak tersebut dapat memanfaatkan peluang pekerjaan lain. Akan tetapi, Budy belum mengetahui pandangan masyarakat nelayan terhadap strategi ini.
Upaya lain yang sedang dipertimbangkan adalah memperkuat hubungan wilayah lewat transportasi modern.
“Perbaikan transportasi dapat menciptakan kelancaran aliran barang dan jasa yang lebih baik, yang kemudian dapat menciptakan perdagangan yang hebat dengan seluruh belahan dunia dan pasar yang lebih besar, khususnya untuk pertanian Australia,” jelas Budy.
Pulau Kei berada di wilayah Maluku, Indonesia, yang terletak di antara Darwin, Timor-Leste, Ambon dan Papua.
Tim ilmuwan terdiri dari Dr. Tajibu Muhammad, Dr. Girsang Wardis, Dr. Eriko Hoshino, Dr. Satoshi Yamazaki, dan Dr. Budy Resosudarmo.
Kontak media:
- Kevin Evans(Australia Indonesia Centre, in Indonesia); evans@monash.edu;
+62 811 991 6434 - Michelle Kovacevic (Science in Public, in Indonesia); kovamic@gmail.com; +62 812 3677 0907
- Andrew Tijs(Australia Indonesia Centre, in Australia); tijs@monash.edu;
+61 405 278 298 - Lydia Hales (Science in Public, in Australia); lydia@scienceinpublic.com.au;
+61 457 854 515
Keperluan wawancara:
- Dr Tajibu Muhammad (Indonesia); mjtajibu@gmail.com; +62 823 3692 0010
- Dr Budy Resosudarmo (Australia); resosudarmo@anu.edu.au ; +61 407 616 064
Untuk informasi lebih lanjut mengenai Australia-Indonesia Centre, kunjugi: http://australiaindonesiacentre.org/