Para peneliti bersedia untuk diwawancarai dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dan Listrik untuk Masyarakat.
Lebih dari enam puluh lima juta rakyat Indonesia hidup tanpa listrik. Apa maknanya dalam era jaringan mikro, baterai, dan panel surya yang efisien? Bagaimana masyarakat berubah dengan listrik tersedia setiap saat?
Pasokan listrik yang andal adalah salah satu kunci untuk membuka potensi pulau-pulau terpencil dan kawasan pedalaman di Indonesia dan Australia utara, area yang diprioritaskan oleh kedua negara.
Namun, persoalan ini tidak hanya tentang memasang teknologi yang tepat. Menghadirkan kegiatan malam hari, televisi, internet, dan mesin pintar untuk masyarakat yang sebelumnya tidak pernah dapat menjangkau hal-hal tersebut berpotensi mengubah – bahkan mengganggu – kehidupan, hubungan ekonomi dan politik, dan keseluruhan budaya mereka.
Sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan dan ilmuwan sosial Australia dan Indonesia, mencoba memahami cakupan masalah dengan mempelajari dua lokasi di Indonesia yang sudah terlebih dahulu diperkenalkan dengan listrik. Di awal, proyek ini didanai oleh Australia Indonesia Centre.
Menyediakan listrik yang andal adalah kunci untuk membuka potensi masyarakat terpencil di kedua negara: dari pulau-pulau di Indonesia dan masyarakat pedalaman Australia, sampai ke lokasi pertambangan terpencil. Konsep jaringan energi sedang berubah. Beberapa kawasan tepi kota baru Australia, misalnya, mulai ‘keluar jaringan’. Mereka menggunakan kombinasi seperti tenaga surya dan gas, didukung simpanan baterai, untuk menciptakan jaringan mikro yang pada dasarnya terpisah dari jaringan nasional.
Jadi, apa cara terbaik untuk mengubah pasokan energi di kedua negara? Jawabannya tidak akan sederhana. Bagi masyarakat yang hidup tanpa infrastruktur, kini muncul peluang untuk beralih dari sistem tersentralisasi, menyesuaikan pembangunan sesuai dengan ciri geografi negara. Teknologi-teknologi baru ini pun dapat membuat seluruh masyarakat ‘melompat’ ke zaman listrik.
“Proyek ini, yang menyatukan kelompok kolaborasi peneliti yang unik dan beragam dari kedua negara dan melibatkan berbagai ahli dari mulai antropologi budaya sampai ekonomi energi, punya nilai yang luar biasa signifkan terhadap pembangunan Indonesia di masa yang akan datang,” ujar Dr. Pujo Semedi, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Rilis terbaru kriteria rancangan untuk Northern Australia Infrastructure Facility pun menunjukkan bahwa elektrifikasi daerah terpencil di kawasan tropis juga penting bagi Australia.
Kelompok peneliti—di bawah kepemimpinan dan koordinasi Dr. Pujo dan peneliti pasar energi Dr. Ariel Liebman, serta antropolog Dr. Max Richter, keduanya dari Monash University—sedang meneliti dua lokasi. Salah satunya adalah kawasan terpencil di Kalimantan Barat tempat Dr. Pujo dan mahasiswanya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun.
Lokasi lain adalah sekelompok desa di pulau Kei Besar yang terletak di antara Darwin dan Papua Barat. Pulau tetangga Kei Kecil ini juga menjadi lokasi proyek lain Australia-Indonesia Centre mengenai ketahanan pangan. Penerbangan dari Ambon ke Kei Kecil, dilanjutkan dengan perjalanan kapal selama tiga sampai empat jam, adalah rute yang harus ditempuh untuk tiba di pulau-pulau ini.
“Masalah di sana lebih rumit, karena bukannya tidak ada listrik sama sekali,” kata Max, Wakil Direktur Monash Asia Institute. Menurutnya, sudah ada upaya membangun pasokan listrik yang baik di Kei Besar. “Jaringan, tiang, kabel, bahkan sel surya fotovoltaik telah siap. Namun, entah bagaimana, berkali-kali mengalami kegagalan. Akibatnya, pasokan listrik tidak terjamin.”
Ia juga menyebutkan aspek sosial-budaya dan ekonomi. “Jika sebuah desa menerima mesin penggiling jagung, apakah mesin ini akan mengubah sifat interaksi sosial? Siapa yang enjadi pemilik mesin? Siapa yang membayar listrik yang digunakan? Siapa yang bertanggung jawab jika mesin tidak beroperasi?”
Permasalahan elektrifikasi daerah terpencil menyentuh banyak hal. Begitu pula dengan penelusurannya. Di tingkat lokal, para peneliti telah berdiskusi dengan masyarakat dan terutama kepala desa untuk memastikan sikap dan kebutuhan mereka. Akan tetapi, penyediaan sumber daya juga menuntut perencanaan dan pengelolaan di tingkat nasional. Max mengatakan bahwa ia sekarang tertarik pada tingkat daerah, tempat aktor lokal dan nasional bertemu dan berinteraksi. Dalam hal Kepulauan Kei, letaknya ada di Provinsi Maluku dengan ibu kota Ambon, di mana Max telah membangun hubungan dan melakukan penelitian selama bertahuntahun.
Sejauh ini, proyek telah mengumpulkan informasi latar belakang, dari sumber daya nasiona, data satelit, sampai dengan melalui interaksi dengan penduduk setempat. Dengan dukungan yang diberikan oleh Australia-Indonesia Centre, dua mahasiswa S2 Dr. Pujo dan Max telah masing-masing menghabiskan empat bulan tinggal di satu lokasi dan mempelajari permasalahan yang ada secara langsung.
Kerja lapangan tersebut sudah selesai, kata Max, dan tim tengah menyusun gambaran yang cukup baik mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada dan sumber daya untuk pembangkit dan pasokan listrik. Lebih dari itu, yang paling signifikan, para peneliti telah membangun itikad baik dengan masyarakat setempat dan pemimpinnya, serta kini bermitra dengan rekan-rekan dari Universitas Pattimura di tingkat ibu kota provinsi.
Hal ini penting bagi tahap selanjutnya yang diharapkan, yakni menguji coba solusi yang berbeda untuk masalah elektrifikasi daerah terpencil. Secara khusus, ada ketertarikan besar terhadap konsep jaringan mikro, yang berarti melibatkan pengembangan jaringan sumber pembangkit listrik lokal. Jika perlu, jaringan ini dapat dihubungkan dan memanfaatkan jaringan listrik nasional dan daerah yang lebih luas dan substansial.
Kontak Media:
- Kevin Evans (Australia Indonesia Centre, in Indonesia) kevin.evans@monash.edu; +628119916434
- Andrew Tijs (Australia Indonesia Centre, in Australia); andrew.tijs@monash.edu; +61405278298
- Lydia Hales (Science in Public, in Australia); lydia@scienceinpublic.com.au; +61 457 854 515
Keperluan Wawancara:
- Professor Pujo Semedi (Indonesia); pujosemedi@ugm.ac.id; +620274-513096, ext. 123
- Paul Ramadge (Director of the Australia Indonesia Centre, in Australia);
+61 (3) 9905 0302 - Dr Ariel Liebman (Indonesia); Ariel.Liebman@monash.edu;
+62 812 8847 3972 - Dr Max Richter (Indonesia); max.richter@monash.edu; +62 812 841 20470